Carilah Keutamaan Malam Lailatul Qadar
Dari Aisyah radhiallahu’anha, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
تَحَرَّوْا ليلة القدرِ في الوِتْرِ، من العشرِ الأواخرِ من رمضانَ
“Carilah oleh kalian keutamaan lailatul qadr (malam kemuliaan) pada malam-malam ganjil di sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan”.
Takhrij Singkat Hadits
Hadits ini shahih. Dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya (2017), Muslim dalam kitab Shahih-nya pula (1169), dan para Imam hadits lainnya; dari hadits Aisyah radhiallahu’anha.
Penjelasan Hadits
“Malam kemuliaan” dikenal dengan malam Lailatul Qadr, yaitu satu malam yang penuh dengan kemuliaan, keagungan dan tanda-tanda kebesaran Allah Ta’ala, karena malam itu merupakan permulaan diturunkannya al-Quran. (Lihat al-Quran dan terjemahnya, cetakan Mujamma’ Malik Fahd). Hal ini ditunjukkan oleh Firman Allah Ta’ala:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ
“(1) Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Quran) pada malam kemuliaan. (2) Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? (3) Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. (4) Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Rabbnya untuk mengatur segala urusan. (5) Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar” (QS. Al-Qadr: 1-5).
Allah berfirman:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi…” (QS. Ad-Dukhaan: 3).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah (774 H) berkata, “(Malam yang diberkahi) itulah Lailatul Qadr, (yang terjadi) pada bulan Ramadhan, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Quran…” (QS. Al-Baqarah: 185).
Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma dan yang lainnya berkata, ‘Allah telah menurunkan al-Quran dari Lauh Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah (di langit dunia) secara langsung (sekaligus), kemudian menurunkannya kepada Rasulullah secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa-peristiwa (yang terjadi semasa hidupnya) selama dua puluh tiga tahun’”[1. Tafsir Al-Quran Al-‘Azhim (8/441)].
Dengan demikian, jelaslah alasan mengapa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam perintahkan umatnya agar sungguh-sungguh mencari keutamaan malam Lailatul Qadr ini. Terlebih lagi, pada hadits yang lain beliau menjelaskan:
أتاكُم رَمضانُ شَهرٌ مبارَك ، فرَضَ اللَّهُ عزَّ وجَلَّ عليكُم صيامَه ، تُفَتَّحُ فيهِ أبوابُ السَّماءِ ، وتغَلَّقُ فيهِ أبوابُ الجحيمِ ، وتُغَلُّ فيهِ مَرَدَةُ الشَّياطينِ ، للَّهِ فيهِ ليلةٌ خيرٌ من ألفِ شَهرٍ ، مَن حُرِمَ خيرَها فقد حُرِمَ
“Telah datang kepada kalian Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah Ta’ala wajibkan kalian untuk berpuasa padanya, dibukakan padanya pintu-pintu langit, ditutup pintu-pintu neraka Jahim, dan dibelenggu setan-setan yang membangkang. Pada bulan tersebut, Allah memiliki satu malam yang lebih baik dari seribu bulan (seseorang beribadah selama itu). Barangsiapa terhalang dari kebaikannya, sungguh ia orang yang terhalang (dari seluruh kebaikan)”[2. Shahih. Hadits yang mulia dengan lafazh seperti ini diriwayatkan oleh an-Nasa-i (2106) dan Ahmad (12/59) dari hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu. Dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah (1644) dari hadits Anas bin Malik radhiallahu’anhu. Lihat Shahih al-Jami’ (55) dan Shahih at-Targhib wat Tarhib (1/241 nomor 999 dan 1000). Dan sebagian lafazh dan makna hadits ini juga diriwayatkan oleh al-Bukhari (1899 dan 3277), dan Muslim (2/758 nomor 1079)].
Imam ath-Thabari rahimahullah (310 H) dan Imam Ibnu Katsir rahimahullah (774 H) berkata, “Sufyan ats-Tsauri berkata, telah sampai kepadaku perkataan Mujahid (tentang firman Allah):
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ
“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan“. (QS. Al-Qadr: 3).
Beliau berkata, amal (shalih), puasa, dan shalat pada malam Lailatul Qadr itu lebih baik dari seribu bulan (seseorang
melakukan ibadah)”[3. Lihat Tafsir ath-Thabari (30/314) dan Tafsir al-Quranil Azhim (8/443)].
Adapun maksud para ulama tafsir bahwa ibadah pada malam Lailatul Qadr lebih utama dari ibadah selama seribu
bulan adalah (seribu bulan) yang di dalamnya tidak terdapat Lailatul Qadr [4. Lihat Tafsir ath-Thabari (30/314-315), al-Jami’ li Ahkamil Quran (20/121), Tafsir al-Quranil Azhim (8/443), ad-Durrul Mantsur (8/568), dan Taisirul Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan (2/1185)].
Imam al-Albani rahimahullah (1420 H) berkata, “Dan di antara masa, ada yang telah Allah jadikan seluruh amalan baik padanya lebih utama (dari waktu-waktu selainnya), seperti pada sepuluh Dzulhijjah dan malam Lailatul Qadr yang lebih baik dari seribu bulan, yaitu seluruh amalan pada malam itu lebih utama (lebih baik) dari amalan selama seribu bulan tanpa Lailatul Qadr di dalamnya”[5. Lihat ats-Tsamrul Mustathab (2/576)].
Bahkan, malam tersebut diliputi kesejahteraan dan keselamatan, sebagimana firman-Nya:
سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ
“Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar” (QS. Al-Qadr: 5).
Maksudnya adalah pada malam Lailatul Qadr penuh dengan seluruh kebaikan dan keberkahan, selamat dari segala kejahatan dan keburukan apapun, setan-setan tidak mampu berbuat kerusakan dan kejahatan sampai terbit fajar di pagi harinya. Ini adalah perkataan sebagian besar ulama seperti Mujahid (104 H), Nafi’ (117 H), Qatadah (± 113 H), Ibnu Zaid, Abdurrahman bin Abi Laila (83 H), dan lain-lainnya [6. Lihat Tafsir ath-Thabari (30/315), al-Jami’ li Ahkamil Quran (20/124), Tafsir al-Quranil Azhim (8/444), ad-Durrul Mantsur (8/568), dan Taisirul Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan (2/1185)].
Adapun yang dikatakan oleh Asy Sya’bi rahimahullah (± 101 H) adalah pada malam itu para malaikat memberikan ucapan
salam kepada para penghuni masjid-masjid (yang beribadah di dalamnya) sampai terbit fajar[7. Lihat al-Jami’ li Ahkamil Quran (20/124), dan Tafsir al-Quranil Azhim (8/444)].
Apakah Lailatul Qadr Merupakan Kekhususan Umat Islam, Ataukah Juga Terdapat Pada Umat-umat Sebelumnya?
Imam as-Suyuthi rahimahullah (911 H) membawakan sebuah hadits yang dikeluarkan oleh ad-Dailami rahimahullah (509 H) dari Anas bin Malik a (93 H), bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إن الله وهب لأمتي ليلة القدر ولم يعطها من كان قبلهم
“Sesungguhnya Allah memberikan Lailatul Qadr kepada umatku, dan tidak memberikannya kepada (umat-umat) sebelumnya“[8. Lihat al-Firdaus bi Ma’tsuuril Khithaab (1/173 nomor 647)].
Akan tetapi, hadits ini maudhu’ (palsu)[9. Imam al-Albani rahimahullah berkata, “Maudhu’ (palsu)”. Lihat Dha’iful Jami’ (1669) dan Silsilatul Ahadits adh-Dha’ifah (7/106 nomor 3106). Hadits maudhu’ adalah hadits yang palsu, dusta, dan dibuat-buat, yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Lihat Taisir Mushthalahil Hadits, halaman 89.], sehingga tidak bisa dijadikan hujjah atau landasan sama sekali. Al-Khathabi rahimahullah (388 H) menghikayatkan ijma’ (kesepakatan) para ulama bahwa Lailatul Qadr terdapat pula pada umat-umat sebelum umat Islam[10. Tafsir al-Quranil Azhim (8/446)]. Ibnu Katsir rahimahullah (774 H) dan As Suyuthi rahimahullah (911 H) di dalam kitab-kitab tafsir mereka[11. Tafsir al-Quranil Azhim (8/445), ad-Durrul Mantsur (8/568)], membawakan hadits yang dikeluarkan oleh Imam Malik rahimahullah (179 H) di kitab al-Muwaththa’-nya[12. Al-Muwaththa’ (1/321)], beliau berkata:
إنَّ رسولَ اللهِ أُرِيَ أعمارَ الناسِ قبلَه أو ما شاء اللهُ من ذلك فكأنه تقاصر أعمارَ أُمَّتِه ألَّا يَبلُغوا من العملِ مثلَ الذي بلغ غيرُهم في طولِ العمُرِ ، فأعطاه اللهُ ليلةَ القدرِ خيرًا من ألفِ شهرٍ
“Sesungguhnya Rasulullah diperlihatkan umur-umur manusia sebelumnya (yang relatif panjang) sesuai dengan kehendak Allah, sampai (akhirnya) usia-usia umatnya semakin pendek (sehingga) mereka tidak bisa beramal lebih lama sebagaimana umat-umat sebelum mereka beramal karena panjangnya usia mereka, maka Allah memberikan Rasulullah Lailatul Qadr yang lebih baik dari seribu bulan“.
Lalu Ibnu Katsir rahimahullah mengomentari hadits ini dan berkata, “Sesuatu yang diisyaratkan oleh hadits ini adalah adanya Lailatul Qadr pada umat-umat terdahulu sebelum umat Islam”. Namun, hadits ini pun dha’ifun mu’dhal (lemah dan terputus sanadnya dengan terjatuhnya dua perawi hadits secara berurutan), sebagaimana yang telah dihukumi oleh Imam al-Albani rahimahullah[13. Lihat Dha’if at-Targhib wat Tarhib (1/151 nomor 604)]. Dengan demikian, tidak ada ada dalil shahih yang menunjukkan adanya Lailatul Qadr pada umat-umat sebelum umat Islam, sebagaimana tidak ditemukan pula dalil shahih yang menunjukkan bahwa Lailatul Qadr merupakan kekhususan umat Islam. Wallahu A’lam.
Apakah Lailatul Qadr Akan Terus Berlangsung Ada Pada Setiap Tahun Hingga Akhir Zaman?
Imam Ibnu Katsir rahimahullah (774 H), di dalam kitab Tafsirnya membawakan hadits lain dengan menukil riwayat Imam Ahmad rahimahullah (241 H) di dalam Musnad-nya[14. Musnad al-Imam Ahmad (35/393 nomor 21499)] dari Abu Dzar radhiallahu’anhu (32 H) yang berkata:
يا رسولَ اللهِ ، أخبِرْني عن ليلةِ القدرِ أفي رمضانَ أم في غيرِ رمضانَ ؟ قال صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ : بلْ في رمضانَ . قلتُ : يا رسولَ اللهِ ، أهيَ مع الأنبياءِ ما كانوا فإذا قُبِضَ الأنبياءُ رُفِعَتْ ، أم هيَ إلى يومِ القيامةِ ؟ قال صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ : بل هيَ إلى يومِ القيامةِ
“Wahai Rasulullah, beritahu aku tentang Lailatul Qadr! Apakah malam itu pada bulan Ramadhan ataukah pada selainnya? Beliau berkata, “Pada bulan Ramadhan”, (dengan demikian, Lailatul Qadr sudah ada) bersama para Nabi terdahulu, lalu apakah setelah mereka meninggal dunia, malam Lailatul Qadr tersebut diangkat? Ataukah malam tersebut tetap ada sampai hari kiamat? Nabi ٍShallallahu’alaihi Wasallam menjawab, “Akan tetap ada sampai hari kiamat…“[15. Namun, hadits ini pun dinyatakan dha’if (lemah) sanadnya oleh para pentahqiq Musnad al-Imam Ahmad (35/394). Lihat pula Silsilatul Ahadits adh-Dha’ifah jilid (7/99 nomor 3100)].
Kemudian, Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Pada hadits ini terdapat isyarat seperti yang telah kami sebutkan, bahwa Lailatul Qadr akan tetap terus berlangsung sampai hari kiamat pada setiap tahunnya. Tidak seperti yang diyakini oleh sebagian kaum Syi’ah bahwa Lailatul Qadr sudah diangkat (tidak akan pernah terjadi lagi), disebabkan keliru dalam memahami hadits yang akan kami terangkan sebentar lagi…[16. Lihat Tafsir al-Quranil Azhim (8/446). Adapun hadits yang beliau maksud, yang kaum Syi’ah keliru dalam memahaminya; adalah hadits yang dikeluarkan oleh Imam al-Bukhari dalam Shahihnya (2023), dari Ubadah bin ash-Shamit radhiallahu’anhu, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam keluar untuk memberitahu kami (kapan terjadinya) Lailatul Qadr, tiba-tiba ada dua orang dari kaum Muslimin saling mencela (berselisih), beliaupun bersabda, “Aku keluar untuk mengkhabari kalian (kapan) Lailatul Qadr, lalu si Fulan dan Fulan berselisih? Sudah diangkat, dan mudah-mudahan hal itu lebih baik untuk kalian, maka carilah pada malam ke sembilan, ke tujuh, dan ke lima (dari sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan)”. Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsirnya (8/450-451) berkata, “Dan maksud dari “farufi’at” adalah diangkatnya ilmu (dari para sahabat) akan kapan terjadinya Lailatul Qadr itu, bukan diangkatnya Lailatul Qadr secara keseluruhan (sehingga tidak ada wujudnya lagi sama sekali), sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang bodoh kaum Syi’ah, karena Rasulullah bersabda setelahnya, ‘Maka carilah pada malam ke sembilan, ke tujuh, dan ke lima (dari sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan)’”. Demikian halnya al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah (852 H) dalam kitabnya Fat-hul Baari (4/263), beliau jelaskan bahwa pendapat yang menyatakan bahwa Lailatul Qadr telah diangkat secara keseluruhan sehingga tidak ada wujudnya lagi sama sekali adalah pandapat Syi’ah. Beliau pun bawakan perkataan Abu Hurairah radhiallahu’anhu ketika ditanya apakah Lailatul Qadr telah tiada? Beliau menjawab, “Sungguh telah berdusta orang yang berkata demikian”. Lihat pula Adhwa’ul Bayan (9/32)] karena maksud (hadits) yang sesungguhnya adalah diangkatnya pengetahuan kapan terjadinya malam Lailatul Qadr[17.Demikianlah, sehingga Imam al-Bukhari pun memberi tarjamah (judul bab) hadits ini dalam Shahih-nya tersebut dengan judul: Bab diangkatnya pengetahuan (kapan terjadinya) Lailatul Qadr disebabkan (adanya) perselisihan orang-orang. Ibnu Katsir pun berkata ketika mengomentari sabda Nabi: “…Fulan dan Fulan berselisih? Sudah diangkat…”.Beliau katakan, “Ini sesuai dengan sebuah perumpamaan: Perdebatan memutuskan faidah, dan ilmu yang bermanfaat”]. Juga terdapat isyarat bahwa Lailatul Qadr khusus terjadi pada bulan Ramadhan saja dan tidak terjadi pada bulan-bulan lainnya…”[18. Imam Ibnu Katsir di dalam kitab Tafsirnya (8/446) membawakan beberapa pendapat ulama, di antaranya pendapat yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud a yang mengatakan bahwa Lailatul Qadr (bisa) terjadi pada satu tahun penuh, yang bisa diharapkan terjadinya pada setiap bulan dalam setahun. Juga yang dihikayatkan dari Abu Hanifah rahimahullah bahwa Lailatul Qadr bisa diharapkan terjadinya pada satu bulan Ramadhan penuh. Dan ada juga pendapat-pendapat lainnya yang kebanyakan dari pendapat-pendapat tersebut tidak berdasarkan pada dalil yang shahih. Lihat pula pendapat-pendapat ulama lainnya yang dibawakan al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah (852 H) dalam kitabnya Fat-hul Bari (4/262-266)].
Pendapat inilah (yang mengatakan bahwa Lailatul Qadr terdapat pula pada umat-umat sebelum umat Islam) yang didukung kuat oleh Ibnu Katsir di dalam kitab Tafsirnya[19. Lihat Tafsir al-Quranil Azhim (8/445-446)], karena banyaknya hadits-hadits lain yang shahih yang memperkuat hal itu, sebagaimana hadits-hadits yang akan diterangkan berikut. Wallahu A’lam.
Kapankah Lailatul Qadr?
Sudah dijelaskan diatas berdasarkan ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits Nabi yang shahih bahwa Lailatul Qadr terjadi pada satu malam saja dari bulan Ramadhan pada setiap tahunnya, akan tetapi tidak dapat dipastikan kapan terjadinya[20. Dan hal ini ada hikmahnya, sesuai dengan hadits yang telah lalu dalam Shahih al-Bukhari (2023) dari Ubadah bin ash-Shamit radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “… dan mudah-mudahan hal itu lebih baik untuk kalian…”. Sehingga Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Quranil Azhim (8/451) berkata, “Maksudnya adalah ketidaktahuan kalian terhadap kapan terjadinya Lailatul Qadr itu lebih baik bagi kalian, karena hal itu membuat orang-orang yang betul-betul ingin mendapatkannya akan berusaha dengan bersungguh-sungguh beribadah di setiap kemungkinan waktu terjadinya Lailatul Qadr tersebut, maka dia akan lebih banyak melakukan ibadah-ibadah. Lain halnya jika waktu Lailatul Qadr sudah diketahui, kesungguhan pun akan berkurang dan dia akan beribadah pada waktu malam itu saja”]. Sehingga banyak sekali hadits-hadits dan atsar-atsar yang menerangkan waktu-waktu malam yang mungkin terjadi padanya Lailatul Qadr[21. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah (852 H) dalam kitabnya Fat-hul Bari (4/262-266) membawakan lebih dari empat puluh lima pendapat ulama yang berkaitan dengan keterangan kemungkinan waktu-waktu terjadinya Lailatul Qadr]. Di antara waktu-waktu yang di terangkan hadits-hadits dan atsar-atsar tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pada malam pertama di bulan Ramadhan. Imam Ibnu Katsir rahimahullah (774 H) berkata, “Ini dihikayatkan dari Abu Razin al-‘Uqaili radhiallahu’anhu, seorang sahabat”[22. Tafsir al-Quranil Azhim (8/447). Dan kami tidak mendapatkan atsar yang menerangkan hal ini, kecuali apa yang telah dinukilkan oleh alHafizh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fat-hul Bari (4/263) dari Ibnu Abi Ashim, dari Anas, beliau berkata, Lailatul Qadr adalah malam pertama di bulan Ramadhan”].
2. Pada malam ke tujuh belas di bulan Ramadhan. Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Dalam hal ini Abu Dawud telah meriwayatkan hadits marfu’[23. Hadits marfu’ adalah hadits yang disandarkan kepada Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan, ataupun sifat beliau] dari Ibnu Mas’ud, juga diriwayatkan dengan mauquf[24. Hadits mauquf adalah hadits yang disandarkan kepada seorang sahabat Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, atau pernyataan] darinya, Zaid bin Arqam, dan Utsman bin Abi Al ‘Ash [25. Sunan Abi Dawud (1384). Dan Imam al-Albani rahimahullah (1420 H) mendha’ifkan hadits ini dalam kitabnya Dha’if Abi Dawud al-Umm (2/65-66)]. Dan ini adalah salah satu perkataan Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, juga dihikayatkan dari al-Hasan al-Bashri. Mereka semua beralasan karena (malam ke tujuh belas Ramadhan adalah) malam (terjadinya) perang Badr, yang terjadi pada malam Jum’at, malam yang ke tujuh belas dari bulan Ramadhan, dan di pagi harinya (terjadilah) perang Badr, itulah hari yang Allah katakan dalam firman-Nya: “… Di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan…” (QS. al-Anfaal: 41)[26. Lihat Tafsir al-Quranil Azhim (8/447)].
3. Pada malam ke sembilan belas di bulan Ramadhan. Pendapat ini dihikayatkan dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud dan Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhum[27. Lihat Tafsir al-Quranil Azhim (8/447) dan Fat-hul Bari (4/263)].
4. Pada malam ke dua puluh satu di bulan Ramadhan. Sebagaimana diterangkan dalam hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu’anhu, beliau berkata:
اعتكَف رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم عشرَ الأُوَلِ من رمضانَ، واعتكفْنا معَه، فأتاه جبريلُ فقال : إن الذي تطلُبُ أمامَك، فاعتكَف العشرَ الأوسَطَ فاعتكَفْنا معَه، فأتاه جبريلُ فقال : إن الذي تطلُبُ أمامَك، قام النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم ؟طيبًا، صبيحةَ عِشرينَ من رمضانَ، فقال : مَن كان اعتكَف معَ النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم فليَرجِعْ، فإني أُريتُ ليلةَ القدْرِ وإني نُسِّيتُها وإنها في العشرِ الأواخِرِ، وفي وِترٍ، وإني رأيتُ كأني أسجدُ في طينٍ وماءٍ . وكان سقفُ المسجدِ جريدَ النخلِ، وما نرى في السماءِ شيئًا، فجاءتْ قزَعةٌ فأُمطِرْنا، فصلَّى بنا النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم حتى رأيتُ أثرَ الطينِ والماءِ . على جبهةِ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم وأرنبتِه، تصديقَ رؤياه
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melakukan i’tikaf pada sepuluh hari pertama di bulan Ramadhan, dan kami pun melakukan i’tikaf bersamanya. Lalu Jibril datang dan berkata, “Sesungguhnya apa yang engkau minta (cari) ada di depanmu”, lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkhutbah pada pagi hari yang ke dua puluh di bulan Ramadhan dan bersabda, “Barangsiapa yang i’tikaf bersama Nabi, maka kembalilah (untuk melakukan i’tikaf)! Karena sesungguhnya aku telah diperlihatkan Lailatul Qadr, dan aku sudah lupa. Lailatul Qadr akan terjadi pada sepuluh hari terakhir pada (malam) ganjilnya, dan aku sudah bermimpi bahwa aku bersujud di atas tanah dan air”. Dan saat itu atap masjid (terbuat dari) pelepah daun pohon kurma, dan kami tidak melihat sesuatupun di langit, lalu tiba-tiba muncul awan dan kami pun dituruni hujan. Kemudian Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam shalat bersama kami sampai-sampai aku melihat bekas tanah dan air yang melekat di dahi dan ujung hidung beliau sebagai bukti benarnya mimpi beliau[28. HR al-Bukhari (813), Muslim (1167), dan lain-lain]. Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Hadits ini adalah riwayat paling shahih”[29. Lihat Tafsir al-Quranil Azhim (8/447)].
5. Pada malam ke dua puluh tiga di bulan Ramadhan. Sebagaimana diterangkan dalam hadits Abdullah bin Unais radhiallahu’anhu, beliau berkata: Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
أريتُ ليلةَ القدرِ ثم أُنسيتُها . وأراني صُبحَها أسجدُ في ماءٍ وطينٍ . قال : فمُطِرْنا ليلةَ ثلاثٍ وعشرين فصلى بنا رسولُ اللهِ صلى اللهُ عليه وسلم . فانصرفَ وإن أثرَ الماءِ والطينِ على جبهتِه وأنفِه . قال : وكان عبدُاللهِ بنِ أنيسٍ يقولُ : ثلاثَ وعشرين
“Aku telah diperlihatkan Lailatul Qadr kemudian aku dibuat lupa, dan aku bermimpi bahwa aku bersujud di atas tanah dan air”. Maka kami dituruni hujan pada malam yang ke dua puluh tiga. Dan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam shalat bersama kami kemudian beliau pergi sedangkan bekas air dan tanah masih melekat pada dahi dan hidungnya. Dan Abdullah bin Unais radhiallahu’anhua berkata, “Dua puluh tiga”.[30. HR Muslim (1167) dan lain-lain]
6. Pada malam ke dua puluh empat di bulan Ramadhan. Sebagaimana diterangkan dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
ليلة القدر ليلة أربع وعشرين
“Lailatul Qadr malam yang ke dua puluh empat”[31. HR ath-Thayalisi di dalam Musnad-nya (1/288) dan Ahmad dalam Musnad-nya pula (39/323). Imam Ibnu Katsir rahimahullah di dalam Tafsir al-Quranil Azhim (8/447) mengomentari hadits yang diriwayatkan oleh ath-Thayalisi, “sanadnya (terdiri dari) para perawi tsiqat (kuat)”. Namun setelah beliau membawakan pula hadits serupa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, beliau pun berkata, “Pada sanadnya terdapat Ibnu Lahi’ah, dan dia dha’if (lemah). Hadits ini tidak sesuai dengan apa yang telah diriwayatkan oleh Al Bukhari dari Ashbagh, dari Ibnu Wahb, dari ‘Amr bin Al Harits, dari Yazid bin Abi Habib, dari Abul Khair, dari Abu Abdillah ash-Shunaabihi, ia berkata, ‘Bilal seorang muaddzin Rasulullah telah memberitahu kepadaku bahwa Lailatul Qadr dimulai malam ke tujuh dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Maka hadits yang mauquf ini lebih sah. Wallahu A’lam”. Dan hadits ini pun dinyatakan dha’if (lemah) sanadnya oleh para pentahqiq Musnad al-Imam Ahmad. Demikian pula Imam al-Albani rahimahullah (1420 H) mendha’ifkan hadits ini dalam kitabnya Dha’iful Jami’ (4957)].
Pendapat ini telah diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Jabir, al-Hasan, Qatadah, Abdullah bin Wahb. Mereka mengatakan bahwa Lailatul Qadr terjadi pada malam yang ke dua puluh empat [32. Lihat Tafsir al-Quranil Azhim (8/448). Lihat juga tafsir beliau pada surat al-Baqarah ayat 185 (1/505)].
7. Pada malam ke dua puluh lima di bulan Ramadhan. Sebagaimana diterangkan dalam hadits Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhuma, beliau berkata: Sesungguhnya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
التمِسوها في العشرِ الأواخرِ من رمضانَ، ليلةَ القدرِ، في تاسِعةٍ تَبقى، في سابِعةٍ تَبقى، في خامِسةٍ تَبقى
“Carilah Lailatul Qadr pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan, pada malam yang ke sembilan tersisa, malam yang ke tujuh tersisa, malam yang ke lima tersisa”[33. HR al-Bukhari (2021), Abu Dawud (1381), dan lain-lain].
8. Pada malam ke dua puluh tujuh di bulan Ramadhan. Sebagaimana diterangkan dalam hadits yang di keluarkan oleh Imam Muslim dari Ubay bin Ka’ab radhiallahu’anhu: Dari ‘Abdah dan Ashim bin Abi An Nujud, mereka mendengar Zirr bin Hubaisy berkata,
سألتُ أُبيَّ بنَ كعبٍ رضيَ اللهُ عنه . فقلتُ : إنَّ أخاك ابنَ مسعوٍد يقول : من يَقُمِ الحولَ يُصِبْ ليلةَ القدرِ . فقال : رحمه اللهُ ! أراد أن لا يتَّكِلَ الناسُ . أما إنه قد علم أنها في رمضانَ . وأنها في العشرِ الأواخرِ . وأنها ليلةُ سبعٍ وعشرين . ثم حلف لا يَستثنى . أنها ليلةُ سبعٍ وعشرين . فقلتُ : بأيِّ شيءٍ تقول ذلك ؟ يا أبا المُنذرِ ! قال : بالعلامةِ ، أو بالآيةِ التي أخبرنا رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ أنها تطلع يومئذٍ ، لا شعاعَ لها
“Aku pernah bertanya kepada Ubay bin Ka’ab, aku berkata, sesungguhnya saudaramu Ibnu Mas’ud berkata, barangsiapa mendirikan shalat malam selama setahun pasti akan mendapatkan Lailatul Qadr”, Ubay bin Ka’ab berkata, “Semoga Allah merahmatinya, beliau bermaksud agar orang-orang tidak bersandar (pada malam tertentu untuk mendapatkan Lailatul Qadr), walaupun beliau sudah tahu bahwa malam Lailatul Qadr itu di bulan Ramadhan, dan terdapat pada sepuluh malam terakhir, dan pada malam yang ke dua puluh tujuh”. Kemudian Ubay bin Ka’ab bersumpah tanpa istitsnaa’[34. Bersumpah tanpa istitsnaa’ adalah bersumpah dengan tidak menyebutkan kata “Insya Allah” setelahnya], dan yakin bahwa malam itu adalah malam yang ke dua puluh tujuh. Aku (Zirr) berkata, “Dengan apa (sehingga) engkau berkata demikian wahai Abul Mundzir?[35. Abul Mundzir adalah kun-yah Ubay bin Ka’ab. Lihat Taqribut Tahdzib, halaman 120]” Beliau berkata, “Dengan tanda yang pernah Rasulullah kabarkan kepada kami, yaitu matahari terbit pada pagi harinya tanpa sinar yang terik.”[36. HR Muslim (762), Abu Dawud (1378), at-Tirmidzi (793 dan 3351), dan lain-lain].
Demikian pula ditunjukkan oleh hadits Abdullah bin Umar radhiallahu’anhu:
أن رجالًا من أصحابِ النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم أُرُوا ليلةَ القدرِ في المنامِ في السبعِ الأواخرِ، فقال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم : ( أَرَى رؤياكم قد تواطَأَتْ في السبعِ الأواخرِ، فمَن كان مُتَحَرِّيها فلْيَتَحَرَّها في السبعِ الأواخرِ )
Dari Ibnu Umar, bahwa beberapa orang sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam diperlihatkan (bermimpi) Lailatul Qadr pada tujuh malam terakhir, lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Aku kira mimpi kalian telah bersesuaian pada tujuh malam terakhir, maka barang siapa yang ingin mendapatkannya, carilah pada tujuh malam terakhir tersebut”[37. HR Muslim (1165), dan lain-lain].
Demikian pula hadits Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu’anhu, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda tentang Lailatul Qadr:
ليلة القدر ليلة سبع وعشرين
“Lailatul Qadr pada malam ke dua puluh tujuh“[38. HR Abu Dawud (1386) dan lain-lain. Dan Hadits ini dishahihkan Imam al-Albani rahimahullah dalam Shahih al-Jami’ (1240)].
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Dan pendapat yang menyatakan bahwa Lailatul Qadr adalah malam ke dua puluh tujuh merupakan pendapat sebagian ulama salaf, dan madzhab Ahmad bin Hanbal, dan riwayat dari Abi Hanifah. Juga telah dihikayatkan dari sebagian salaf, mereka berusaha mencocokkan malam Lailatul Qadr dengan karena kata ini adalah kata yang ke dua puluh tujuh dari malam yang ke dua puluh tujuh dengan firman Allah: (َهي), surat al-Qadr. Wallahu A’lam”[39. Lihat Tafsir Al Quran Al Azhim (8/448). Dikatakan pula bahwa kata (َليلة القدر) ada sembilan huruf, dan kata ini terdapat dalam surat al-Qadr sebanyak tiga kali pengulangan, maka jumlah keseluruhan hurufnya ada dua puluh tujuh. Dan itulah malam Lailatul Qadr. Lihat pula Adhwa’ al-Bayan (9/37)].
9. Pada malam ke dua puluh sembilan di bulan Ramadhan. Sebagaimana diterangkan dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu, berkata:
أنَّ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ قالَ في ليلةِ القدرِ إنَّها ليلةٌ سابعةٌ أو تاسعةٌ وعشرينَ إنَّ الملائكةَ تلكَ اللَّيلةَ في الأرضِ أكثرُ من عددِ الحصى
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda tentang Lailatul Qadr, “Sesungguhnya malam itu malam yang ke dua puluh tujuh atau ke dua puluh sembilan, sesungguhnya malaikat pada malam itu lebih banyak dari jumlah butiran kerikil”[40. HR Ahmad (16/428 nomor 10734), dan lain-lain. Dan hadits ini dihasankan oleh Imam al-Albani rahimahullah dalam Shahih al-Jami’ (5473), dan Silsilatul Ahadits ash-Shahihah (5/240 nomor 2205)].
Juga dalam hadits Ubadah bin Shamit radhiallahu’anhu, beliau bertanya kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tentang Lailatul Qadr, maka beliau bersabda:
في رمضانَ فالتمِسوها في العشرِ الأواخرِ فإنَّها في وِترٍ في إحدَى وعشرين أو ثلاثٍ وعشرين أو خمسٍ وعشرين أو سبعٍ وعشرين أو تسعٍ وعشرين أو في آخرِ ليلةٍ فمن قامها ابتغاءَها إيمانًا واحتسابًا ثمَّ وُفِّقتْ له غُفِر له ما تقدَّم من ذنبِه وما تأخَّر
“Di bulan Ramadhan, maka carilah ia pada sepuluh malam terakhir, karena malam itu terjadi pada malam-malam ganjil, pada malam ke dua puluh satu, atau dua puluh tiga, atau dua puluh lima, atau dua puluh tujuh, atau dua puluh sembilan, atau pada akhir malam bulan Ramadhan. Maka barangsiapa menghidupkan malam itu untuk mendapatkannya dengan penuh pengharapan kepada Allah kemudian dia mendapatkannya, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang terdahulu dan yang akan datang“[41. HR Ahmad (37/386-387, 406). Hadits ini dinyatakan hasan oleh para pentahqiq Musnad al-Imam Ahmad].
10. Pada malam terakhir di bulan Ramadhan. Sebagaimana diterangkan dalam hadits Ubadah bin Ash Shamit a di atas, dan hadits Abu Bakrah radhiallahu’anhu, beliau berkata:
ما أنا بمُلتَمِسِها لشيءٍ سمعتُهُ مِن رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وعلَى آلِه وسلَّمَ إلَّا في العَشرِ الأواخرِ فإنِّي سمعتُهُ يقولُ التَمِسوها في تِسعٍ يبقَينَ أو سَبعٍ يبقَينَ أو خَمسٍ يبقَينَ أو ثلاثٍ أو آخرِ ليلةٍ . قال : وَكانَ أبو بَكرةَ يصلِّي في العشرينَ مِن رمضانَ كصلاتِهِ في سائرِ السَّنةِ فإذا دخلَ العشرُ اجتَهَدَ
“Tidaklah aku mencari malam Lailatul Qadr dengan suatu apapun yang aku dengarkan dari Rasulullah melainkan pada sepuluh malam terakhir, karena sesungguhnya aku mendengarkan beliau berkata, “Carilah malam itu pada sembilan malam yang tersisa (di bulan Ramadhan), atau tujuh malam yang tersisa, atau lima malam yang tersisa, atau tiga malam yang tersisa, atau pada malam terakhir”. Dan Abu Bakrah shalat pada dua puluh hari pertama di bulan Ramadhan seperti shalat-shalat beliau pada waktu-waktu lain dalam setahun, tapi apabila masuk pada sepuluh malam terakhir, beliau bersungguh-sungguh[42. HR at-Tirmidzi (794) dan lain-lain. Dan hadits ini dishahihkan Imam al-Albani rahimahullah dalam Shahih al-Jami’ (1243)].
Dan demikian hadits yang serupa telah diriwayatkan dari Mu’awiyah radhiallahu’anhu[43. HR Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya (3/330 nomor 2189). Dan hadits ini dishahihkan Imam al-Albani rahimahullah dalam Shahih al-Jami’ (1238)].
Inilah waktu-waktu yang diterangkan dari berbagai macam sumber dari kitab-kitab tafsir maupun hadits. Dan jika kita perhatikan kembali, banyak hadits-hadits shahih yang menerangkan bahwa kemungkinan terbesar terjadinya Lailatul Qadr adalah di malam-malam ganjil pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, dan terutama pada malam yang ke dua puluh satu dan dua puluh tujuh.
Syaikh Muhammad Amin asy-Syinqithi rahimahullah berkata, “Dan tidak pernah ada ketentuan atau pembatasan yang memastikan kapan terjadinya malam Lailatul Qadr pada bulan Ramadhan. Dan ulama telah banyak membawakan pendapat dan nash-nash (keterangan) yang berkaitan dengan kemungkinan terjadinya malam Lailatul Qadr. Di antara perkataan (para ulama) tersebut adalah ada yang sangat umum, bahwa Lailatul Qadr mungkin terjadi pada setahun penuh. Akan tetapi ini tidak mengandung hal yang baru. Dan perkataan ini dinisbatkan kepada Ibnu Mas’ud. Namun, sebetulnya maksud beliau adalah (agar manusia) bersungguh-sungguh (dalam mencarinya). Ada pula yang mengatakan bahwa malam itu (mungkin) terjadi pada bulan Ramadhan seluruhnya. Dan (mereka) berdalil dengan keumuman nash-nash al-Quran. Ada pula yang berkata bahwa malam itu mungkin terjadi pada sepuluh malam terakhir, dan ini lebih khusus dari pendapat sebelumnya. Dan ada yang berpendapat bahwa malam itu terjadi pada malam-malam ganjil dari sepuluh malam terakhir tersebut. Maka, dari sini ada yang berpendapat pada malam ke dua puluh satu, ke dua puluh tiga, ke dua puluh lima, ke dua puluh tujuh, ke dua puluh sembilan, dan malam terakhir; sesuai dengan masing-masing nash yang menunjukkan terjadinya Lailatul Qadr pada malam-malam ganjil tersebut. Akan tetapi, pendapat yang paling masyhur dan shahih (dari nash-nash tersebut) adalah pada malam ke dua puluh tujuh dan dua puluh satu. Dengan demikian, apabila seluruh nash (dalil) yang menerangkan bahwa Lailatul Qadr pada malam-malam ganjil tersebut semuanya shahih, maka besar kemungkinan malam Lailatul Qadr terjadi pada malam-malam ganjil tersebut. Dan bukan berarti malam Lailatul Qadr tersebut tidak berpindah-pindah, akan tetapi (ada kemungkinan) dalam tahun ini terjadi pada malam ke dua puluh satu, dan pada tahun lain yang berikutnya terjadi pada malam ke dua puluh lima atau dua puluh tujuh, dan pada tahun yang lainnya lagi terjadi pada malam ke dua puluh tiga atau dua puluh sembilan, dan begitulah seterusnya. Wallahu A’lam[44. Adhwa’ al-Bayan (9/35-36) dengan sedikit peringkasan. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya pula, “Apakah malam lailatul qadar tertentu pada satu malam? Ataukah berpindah-pindah (berubah-ubah pada setiap tahunnya) dari satu malam ke malam yang lainnya?” Maka beliau pun menjawab dengan jawaban yang serupa dengan perkatan Syaikh asy-Syinqithi rahimahullah dalam tafsirnya tersebut, yaitu berpindah-pindah dan berubah-ubah pada setiap tahunnya. Wallahu A’lam. Lihat Tafsir al-Quranil Azhim (8/450) dan Majmu’ Fatawa Lajnah Da’imah (14/228-229)].
Tanda-tanda Lailatul Qadr
Sebagaimana yang di katakan oleh Ubay bin Ka’ab radhiallahu’anhu pada hadits yang sudah diterangkan di atas, beliau berkata:
بالعلامةِ ، أو بالآيةِ التي أخبرنا رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ أنها تطلع يومئذٍ ، لا شعاعَ لها
“Dengan tanda yang pernah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kabarkan kepada kami, yaitu matahari terbit pada pagi harinya tanpa sinar yang terik”.
Juga sebagaimana hadits Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma, beliau berkata:
أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم قال في ليلةِ القدرِ : ليلةٌ سَمْحةٌ طَلْقةٌ ، لا حارَّةٌ ولا باردةٌ ، تُصبِحُ شمسُها صبيحَتَها ضعيفةً حمراءَ
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda tentang (tanda-tanda) Lailatul Qadr, “Malam yang mudah, indah, tidak (berudara) panas maupun dingin, matahari terbit di pagi harinya dengan cahaya kemerah-merahan (tidak terik)”[45. HR ath-Thayalisi dalam Musnad-nya (2680). Dan hadits ini dishahihkan Imam al-Albani rahimahullah dalam Shahih al-Jami’ (5475)].
Dan juga hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إني كنتُ أُرِيتُ ليلةَ القَدْرِ ، ثم نُسِّيتُها وهي في العَشْرِ الأَوَاخِرِ من ليلتِها ، وهي ليلةٌ طَلْقَةٌ بَلْجَةٌ لا حارَّةٌ ولا باردةٌ
“Sesungguhnya aku pernah diperlihatkan (bermimpi) Lailatul Qadr, kemudian aku dibuat lupa, dan malam itu pada sepuluh malam terakhir, malam itu malam yang mudah, indah, tidak (berudara) panas maupun dingin“[46. HR Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya (3/330 nomor 2190), Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (8/443 nomor 3688) dan lain-lain. Dan hadits ini dinyatakan shahih li ghairihi oleh Imam al-Albani rahimahullah dalam kitabnya at-Ta’liqatul Hisan ‘ala Shahih Ibni Hibban (5/445 nomor 3680)].
Demikian pula hadits Ubadah bin Ash Shamit radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
ليلةُ القدرِ في العشرِ البواقي من قامهنَّ ابتغاءَ حسبتِهنَّ فإنَّ اللهَ يغفِرُ له ما تقدَّم من ذنبِه ، وهي ليلةُ تسعٍ أو سبعٍ أو خامسةٍ أو ثالثةٍ أو آخرُ ليلةٍ ، قال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم : إنَّ أمارةَ ليلةِ القدرِ أنَّها صافيةٌ بلْجاءُ كأنَّ فيها قمرًا ساطعًا ، ساكنةً لا بردَ فيها ولا حرَّ ، ولا يحِلُّ لكوكبٍ أن يُرمَى به فيها حتَّى يُصبِحَ ، وإنَّ أمارةَ الشَّمسِ صبيحتَها تخرُجُ مستويةً ليس فيها شعاعٌ مثلُ القمرِ ليلةَ البدرِ ولا يحِلُّ للشَّيطانِ أن يخرُجَ معها يومئذٍ
“Lailatul Qadr (terjadi) pada sepuluh malam terakhir, barangsiapa yang menghidupkan malam-malam itu karena berharap keutamaannya maka sesungguhnya Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang lalu dan yang akan datang, dan malam itu adalah pada malam ganjil, ke dua puluh sembilan, dua puluh tujuh, dua puluh lima, dua puluh tiga atau malam terakhir di bulan Ramadhan”, dan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda pula, “Sesungguhnya tanda Lailatul Qadr adalah malam cerah, terang, seolah-olah ada bulan, malam yang tenang dan tentram, tidak dingin dan tidak pula panas, pada malam itu tidak dihalalkan dilemparnya bintang, sampai pagi harinya, dan sesungguhnya tanda Lailatul Qadr adalah matahari di pagi harinya terbit dengan indah, tidak bersinar kuat, seperti bulan purnama, dan tidak pula dihalalkan bagi setan untuk keluar bersama matahari pagi itu”[47. HR Ahmad (37/425). Hadits ini dinyatakan hasan oleh para pentahqiq Musnad al-Imam Ahmad. Lihat pula Tafsir Ibnu Katsir (8/445)].
Keutamaan Lailatul Qadr & Amalan-amalan Yang Utama Dikerjakan Pada Malam Itu
Adapun keutamaan Lailatul Qadr maka cukuplah bagi kita firmanNya yang telah diterangkan di atas:
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا
“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril” [QS. Al-Qadr: 3-4].
Dan mengenai amalan-amalan yang utama untuk dilakukan pada malam tersebut, maka di antaranya adalah:
1. Melakukan i’tikaf
Sebagaimana hadits A’isyah radhiallahu’anha, beliau berkata:
أن النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم كان يعتكفُ العشرَ الأواخرَ من رمضانَ حتى توفاهُ اللهُ، ثم اعتكفَ أزواجُهُ من بعدِهِ
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melakukan i’tikaf pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau, kemudian istri-istri beliau melakukan i’tikaf setelahnya“[48. HR al-Bukhari (2026), Muslim (1172) dan lain-lain].
Demikian hadits yang semisal dengannya adalah hadits Abdullah bin Umar[49. HR al-Bukhari (2025), Muslim (1171) dan lain-lain].
Dan hadits lainnya dari A’isyah radhiallahu’anha, beliau berkata:
كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ يجتهدُ في العشرِ الأواخرِ ، ما لا يجتهدُ في غيرِه
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersungguh-sungguh pada sepuluh malam terakhir dengan kesungguhan yang tidak beliau lakukan pada waktu-waktu lainnya“[50. HR Muslim (1175)].
Terdapat pula hadits lainnya dari A’isyah radhiallahu’anha, beliau berkata:
كان النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم إذا دخل العشرُ شدَّ مِئْزَرَهُ، وأحيا ليلهُ، وأيقظَ أهلهُ
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam apabila memasuki sepuluh malam terakhir, beliau mengikat sarungnya, menghidupkan malamnya dan membangunkan istri-istrinya (untuk shalat malam)“[51. HR Al Bukhari (2024), Muslim (1174) dan lain-lain].
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Dan makna perkataan A’isyah: (ُشدَّ مِئْزَرَهُ), dikatakan maknanya adalah menjauhi istri (tidak menggaulinya), dan ada kemungkinan bermakna kedua-duanya (mengikat sarungnya dan tidak menggauli istri)”[52. Lihat Tafsir al-Quranil Azhim (8/451)].
2. Memperbanyak doa
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Dan sangat dianjurkan untuk memperbanyak doa pada setiap waktu,
terlebih di bulan Ramadhan, dan terutama lagi pada sepuluh malam akhirnya, di malam-malam ganjilnya”[53. Lihat Tafsir al-Quranil Azhim (8/451)].
Dan doa yang dianjurkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah seperti yang ditunjukkan oleh hadits A’isyah berikut ini,
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَىُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا قَالَ « قُولِى اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى
“beliau berkata: Wahai Rasulullah, seandainya aku bertepatan dengan malam Lailatul Qadr, doa apa yang aku katakan? Beliau berkata, “Katakan: /Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwan fa’fu ‘anni/ Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, dan Engkau menyukai maaf, maka maafkan aku”[54. HR at-Tirmidzi (3513), Ibnu Majah (3850), dan lain-lain. Dan hadits ini dinyatakan shahih oleh Imam al-Albani rahimahullah dalam Shahih al-Jami’ (4423)].
3. Menghidupkan malam Lailatul Qadr dengan melakukan shalatْatau ibadah lainnya.
Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
من صام رمضانَ إيمانًا و احتسابًا غُفِرَ له ما تقدَّم من ذنبِه ، و من قام ليلةَ القدرِ إيمانًا و احتسابًا غُفِرَ له ما تقدَّم من ذنبِه
“Barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan pengharapan (dari Allah), niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Dan barangsiapa menghidupkan malam Lailatul Qadr dengan penuh keimanan dan pengharapan (dari Allah), niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu“[55. HR al-Bukhari (2014), Muslim (760), dan lain-lain].
Akhirnya, penulis mengajak kepada segenap pembaca yang mudah-mudahan senantiasa dimuliakan Allah, agar selalu bertakwa kepada-Nya, kapanpun dan di manapun kita berada. Marilah kita selalu berdoa dan meminta kepada-Nya, memohon taufiq-Nya agar kita diberi kemudahan dalam ketaatan kepada-Nya, diberi kesempatan untuk dapat menuai pahala dari-Nya dengan berpuasa, qiyamul lail dan melakukan ibadah-ibadah lainnya di bulan Ramadhan pada tahun ini, sehingga kita keluar dari bulan yang penuh berkah ini dengan penuh keimanan, takut, berharap dan cinta hanya kepada-Nya semata. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa membimbing dan memberikan kita kekuatan untuk tetap tsabat dan istiqamah di atas jalan-Nya yang lurus, jalan orang-orang yang diridhai dan diberikan kenikmatan olehNya sampai kita bertemu dengan-Nya nanti. Amin.
Wallahu Ta’ala A’lam.
***
Penulis: Ust. Arief Budiman, Lc.
Artikel Muslim.or.id
🔍 I Tidal Adalah, Doa Mohon Ilmu Yang Bermanfaat, Abdul Wahhab Bin Rustum, Dunia Hanya Permainan, Akil Baligh Adalah
Artikel asli: https://muslim.or.id/28232-carilah-keutamaan-malam-lailatul-qadar.html